Saturday 9 August 2008

Gadis Penyamar

Bulan penuh sedang muncul dari persembunyiannya, menyapaku dengan bias sinarnya yang datang dari bintang. Sinarnya yang temaram itu merayuku dengan alunan nada yang datang dari suara kunang-kunang, begitu menghanyutkan, sampai aku rasanya ingin tenggelam dalam lamunan.

Sayup-sayup ku dengar suara seorang lelaki memangil namaku. Membiusku dalam lelap. Aku pun mulai tertidur lunglai di kursi santai depan kamarku.

“DIN…Din…Din”, rintihnya, sebuah suara yang sangat aku kenal, namun aku lupa suara siapa itu. Semakin jelas suaranya ku dengar dalam tidurku. “DIN…TOLONG”, tiba-tiba dia menjerit, aku mulai ketakutan, dan…

“Hosh…hosh…hosh…”, peluh hangat membasahi bajuku.” Cuma mimpi…”, gumamku. Aku bersiap masuk ke dalam kamar, mataku sudah tak kuat menahan kantuk. Dalam diriku masih mencari jawaban ,suara siapakah gerangan yang selalu datang menghampiriku. Mimpi ini sudah berulang sejak dua tahun lalu, dia selalu muncul, dia yang selalu ada, dia yang selalu ku kenang, namun aku lupa siapa gerangan.

Srek…srek…srek…aku menghentikan langkahku saaat mendengar langkah kaki yang di seret dari arah taman. Dengan hati bimbang aku memutar arah kakiku kearah taman, memandangnya dengan ragu,” SREK…SREK…”, Semakin jelas terekam dalam telingaku. BRUAK…Suara jatuh dari lantai dua membuatku membuncit. Segera kutarik korden, dan kututup rapat pintu kamarku yang sudari tadi menyusupkan hawa dingin ke kamarku.

“ SIAL ! Pasti Jordan lagi. Kali ini apa yang dia hancurkan. DASAR KUCING SIALAN!!”, gerutu Pamanku di lantai atas. Jordan adalah kucing Mamaku. Aku juga kurang tahu, kenapa Mama sangat menyayanginya. Kucing pengacau macam dia, pantasnya di panggang hidup-hidup. Sikapnya yang tak bersahabat terhadap anak majikannya, sangatlah keterlaluan. Kalau tidak mengingat dia kucing Almarhum Mama, pasti sudah kutaruh di penangkaran kucing.

Kembali rasa kantuk menyerangku, aku memutuskan untuk naik ranjang dan menenggelamkan diri dalam selimut hangat. Udara malam ini terlalu dingin, menurut ramalan cuaca daerah Surabaya selama tiga hari ke depan akan di landa hujan deras.

Satu…Dua…Tiga…mataku kembali terpejam, suara paman yang masih mencicit lantang di lantai dua semakin menyamar. Selamat malam.



Matahari pagi menyingsing, melewati celah jendela yang luput dari perlindungan gorden. Merasuk tepat mataku, membuatku terbangun. Rasanya aku masih sangat kantuk, mataku masih terpejam saat aku menuju kamar mandi. Hari ini adalah hari pertamaku di SMU Fiesta, aku di terima menjadi murid baru atas koneksi Paman. Mulanya aku tidak setuju, tapi karena Paman memaksa, akhirnya aku menurut juga.

Aku masuk ke ruang makan. Di sana Paman dan BIbi , serta ketiga anaknya sudah duduk di kursi masing-masing, agaknya mereka menungguku. Prisil, anak Paman Sam yang ke dua, malah menatapku dengan pandangan mencemooh.

“ Apa kau tau sekarang jam berapa, “RATU” ?”, sindirnya, dengan nada yang kurang aku suka.

“ Sorry!”, jawabku cuek,seraya menempatkan diriku di kursi kosong, tepat di samping Samuel, anak pertama paman Sam.

” Bagaimana tidurmu semalam? Nyenyak?”, tanyanya ramah. Aku hanya menyunggingkan senyum termanis yang dapat ku lukis dikala aku masih lelah. Dia membalas senyum. Samuel sangat ramah, sejak kedatanganku kemarin, dialah yang selalu membantuku. Aku masih sangat asing dengan Surabaya. Aku tak tahu seperti apa orang-orang di rumah ini. Pricil yang dari kemarin melirikku dengan mata melotot seperti ikan koi, Samuel yang ramah, Karnia adik Pricil yang pendiam. Paman dan Bibi yang tanpa ekspresi menghadapiku. Oh ya ada satu lagi penghuni rumah ini, dia kakak angkatku, namanya Dion. Mama mengadopsinya setelah bercerai dari Papa. Hal ini di lakukan Mama karena hak asuhnya atas diriku dimenangkan oleh Papa.

Dion belum kelihatan di meja makan. Sejak awal bertemu sikap Dion sangat dingin terhadapku. Tatatapan yang dilayangkan kepadaku selalu saja tatapan mencemooh dan menghina. Entah kenapa semua orang di rumah ini menganggap aku kutu busuk, bahkan si Jordan.

Sejak perceraian Ayah dan Ibuku 10 tahun yang lalu, tepatnya saat aku masih berumur 6 tahun, hak asuh atas diriku diperoleh ayah. Dan sejak saat itu aku tinggal bersama dengannya di Jakarta. Aku tumbuh di sana, Ibu kembali ke Surabaya, kabar terakhir yang aku dengar dia sudah meninggal 5 tahun , sebabnya aku kurang jelas, kata ayak ibu mengidap kangker darah stadium lanjut. Sampai tiga bulan lalu, ayahku meninggal dalam sebuah kecelakaan di daerah Kemang,Jakarta , saat pulang kantor. Ayah tidak punya kerabat dekat, pada akhirnya, kerabat dari ibukulah yang mendapat hak asuhku, sampai aku dewasa, dan bisa tinggal sendiri aku akan tinggal bersama mereka.

Prisil mengacuhkanku dalam mobil. Prisil dan aku seumuran. Dia cantik, sangat cantik malah. Rambutnya di gerai lurus, Dengan pewarna blueblack, yang sangat kontras dengan kulit mulusnya. Perawakannya tidak terlalu tinggi namun porposional dengan bentuk tubuhnya yang terawat. Matanya tegas, tapi mengesankan keangkuhan. Kata Samuel, Prisil adalalah bintang idola di sekolahnya. Tapi, kata Samuel dia kurang pandai dalam bidang study. Tuhan memang adil. Prisil di anugerahi kecantikan yang luar biasa, tapi otaknya pas-pasan.

“ Eh, ntar kalo udah masuk gerbang sekolah, anggap kita gak kenal!”, ujarnya sinis. Aku hanya memandangnya dengan sinis pula. Di sampingnya Dion duduk mengemudikan mobil. Belakangan ku ketahui, Dion memang selalu absent di meja makan. Dia lebih senang sendiri di kamar. Aku heran ada orang seperti dia. Dion sangat tampan, wajahnya mirip dengan artis latin, namun khas asianya masih terasa. Dia sulit sekali diterka. Walaupun hanya anak angkat tetapi, agaknya orang-orang di rumah sangat segan terhadap dia ketimbang aku yang keluarga sedarah mereka.

“ Dion, Sebelum masuk aku pingin ngomong sama kamu. Jadi jangan beranjak ke kelas dulu!”, kata Prisil kemudian, tentu sudah bisa di tebak bagaimana nada bicaranya. Sok manja bannget. Membuatku mual saja, melihat wajahnya yang cuek, nyaris tanpa ekspresi. Aku sebenarnya heran. Apa di itu manusia normal, jangan-jangan dia zombie. Sebodo amat, tujuanku kan mau sekolah. Di pikir-pikir Dion dan Prisil serasi, yang satu jutek yang satu cuek. Klop banget.

Dion memarkirkan mobil di pelantaran parker sebelah timur. Sepertinya ini tempat parker khusus. Aku hanya mendapati 13 mobil yang rata-rata BMW. Tak seprti tempat parker dekat gerbang yang kami lewati tadi, di sini ada banyak sekali pepohonan rindang dengan aksen ukiran tembok bergaya barat.

“ Sampai kapan mau bengong!”, bentak Pricil melihat aku terhenti mengamati dinding permanent. Aku menoleh ke arahnya, dan mengikuti langkahnya, Dion sudah menunggu kami di depan tangga, berbincang dengan 3 orang lelaki . Mereka kelihatan akrab, wajah dinginya yang sudah seminggu ini jadi santapanku tiba-tiba melumer di depan ketiga cowok yang sekarang sedang main tending-tendangan dengannya. Melihat kedatanganku dengan Pricil mereka berhenti tertawa. Salah seorang dari 3 teman Dion, menatap penuh rasa ingin tahu kea rah Dion, namun dion hanya menaikkan sebelah alisnya.

“ Hai Crish, Ken, dan Hai Ray…gimana liburan lo ke Singapur. Oke gak?, “ ujar Pricil sok akrab, kini tangannya sudah menggelayut manja ke lengan Dion.

“ Biasa aja”, ujar cook yang bernama Ray. Dia sangat tampan. Rambutnya yang gondrong dan ditata berantakan membuat dia semakin terlihat cool. Sama halnya dengan Dion, namun, wajah Ray lebih cenderung ke wajah Asia. Matanya yang tajam menusuk persendianku, saat dia menatapku dari ujung rambut hingga ujung kaki.

“ Sapa dia?”, Tanya Ray kemudian. Pricil kelihatan gondok karena Ray lebih tertarik untuk tahu siapa aku ketimbang topic pembicaraan tentang Singapura.

“ Sepupu gue..!”, jawab Pricil dengan melempar pandangan menghujam ke arahku. Dion tak bereaksi, hanya menatapku sinis.

Aku benar-benar gerah dengan tatapan 5 orang ini.

“ Adik gue, kenalin namanya Addin, pindahan dari Jakarta!”, jawab Dion, yang sontak membuat cowok yang di panggil Chris dan Ken tadi, terbengong-bengong menatap Dion. Dion malah tertawa garing. “ Gak usah segitunya lagi !”.

“ Gila lo! Sejak kapan lo punya adik? Cewek lagi?”. Celetuk Ken, pria jangkung yang memiliki wajah baby face. Aku yakin jika sahabatku Katerin, di Jakarta bertemu dia, pasti dia akan ngefans panget ma si Ken. Dia kan baby face holic.

“ Udah deh, gak penting banget ngomongin dia. Ntar kan bisa! Sekarang mending kita ke kelas deh!”, celetuk Pricil, yang mulai tidak suka perhatian ke-4 pangeran tertuju kepadaku.

Saat aku berusaha berjalan melangkah melewati Ray , sesuatu menganjal kakiku. Tubuhku oleng dan. Bruk….tubuhku menindih tubuh Ray yang ikut terjungkal.

Ray membantuku berdiri. Dion menatapku tanpa arti, Pricil dengan luapan emosi memaki aku sejadi-jadinya, sementara Ken dan Chris memandu koor, “ Ciyee….”, sangat kompak.

“ Dasar gatel! Tahu aja sasaran empuk!”, ujar Pricil. Tangannya sudah lepas dari lengan Dion.

Ray mengibas-ngibaskan debu yang menempel di bajunya. Aku tak berani menatapnya, takut kalau dia marah. “ Anu…maafin gue . Gue gak bermaksud untuk ngajak lo ikut jatuh!”, mendengar jawaban gue yang super konyol semua yang ada di situ tertawa, termasuk Ray.


No comments: