Saturday 9 August 2008

Ceritaku

Terdenagr suara tangis dari kamar Mama, dia menangis tersedu. Perlahan tetapi pasti. Semakin sayup ku dengar, saat aku berusaha menangkap suara yang aku yakin di tahan. Sesungukan seorang wanita, yang semula aku kira hantu, yang sering sekali Mama khayalkan dalam mimpi-mimpinya.

Malam ini aku memang tidak bisa tidur. Rasanya mata ini begitu sulit untuk terpejam, besok ada ulangan Fisika, dan bukan saja mataku yang sulit di ajak kompromi , otakku juga, entah kemana pikiran ini mengabur, sampai aku putuskan untuk membuat susu di dapur agar membantu aku terlelap dalm mimpi, masalah belajar bisa aku lakukan paginya.

Sesunggukan itu semakin jelas saat aku menempelkan daun telingaku ke pintu kamar Mama, perlahan ku membuka pintu yang tidak di kunci itu. Sejenak mataku tergelak kaget, Mama sedang menagis sambil menempelkan Hpnya di kuping. Hal yang terbesit pertama kali di anganku adalah pertengkarannya dengan Ayah, yang kerap terjadi.

Ayahku seorang wirausaha besi tua, saat ini dia sedang berdomisili di Bandung untuk menyelesaikan proyeknya yang tertunda. Seminggu lalu dia kembali berangkat ke Bandung setelah lebih dari sebulan dia pulang. Kepergian terakhir Ayah membuat Nenek dan Mama cemas, pasalnya Ayah mengeluh ambient seminggu berturut-turut. Tapi, karena rasa profesionalitas Ayah tetap berangkat.

Sayup-sayup aku mendengar Mama bergumam tak jelas dalm tangisnya, seperti kata” Rumah sakit…dan kalau tidak salah Fatal keduanya”, semakin ku pertajam pendengaranku, sampai akhirnya dengan mulus aku berhasil menggoyah vas bunga yang tak jauh dari jangkauankua. Dan” Pyar”, telak vas bunga itu pecah berkeping-keping, seraya secepat kilat aku menahan pekik, tepat saat Mama menoleh kearahku yang sedang mengintainya.

Tangisnya semakin jadi saja, dengan menyebut namaku beberpa kali. Aku memantapkan langkahku mendekat ke arahnya, dan menempatkan diri tepat di sampingnya. Hpnya terjatuh, aku memungutnya tanpa permisi. Di layer Hp , bertulis Papa Xl. Ternyata tepat dugaanku, Ayah yang telefon.

“ Kalian bertengkar lagi ?”, tanyaku menuduh.

“ Cin…jangan bilang Nenek?” , pinta Mama, semakin kaku. Matanya sembap.

Dengan tatapan menghina kea rah Mama, aku menjawab panggilan Ayah,, yang keheranan mendengar suara gaduh dari ruangan Mama.

“ Halo…Ma…ada apa Ma?” , teriak Ayah panic , dari sebrang sana.

“ Halo.”, jawabku sinis” Bisakah kau membuat tenang tidur orang rumah barang sedetik saja”, lanjutku dengan nada semakin menuduh.

“ Cin…cindy?”, jawab Ayah terbata.

‘ Iya, ada apa? Malu ya ketahuan lagi bertengkar. Apa kamu tidak kasihan pada wanita ini, saat ini dia sedang menangis tersedu. Apa kau mengancam akan menceraikannya lagi. Dan kau sudah wanita baru di sana?” , tudingku, dengan dengus kesal. Taidak ada jawaban dari sana, hanya terdengar seduhan yang sama, rintihan pahit. Aku mengangkat sebelah alisku, mencoba menganalisis kejadian yang sebenarnya hanya hipotesis sementaraku.

“ Cin, Nak, jangan bicara begitu pada Ayahmu.” , pinta Mama. Aku menatapnya sadis, mengisnyaratkan perintah agar dia diam.

“ Heh…diam deh lo. Lo itu mau di ceraikan. Gue bela lo, jadi lo harusnya berterimakasih . Goblok”

Jangan heran dengan cara bicaraku yang tidak punya mener kepada kedua orangtuaku. Ceritanya rumit, orang yang ku panggil Mama yang saat ini ada di hadapanku adalah ibu tiri. Istri ketiga ayahku, setelah ibuku, dan ibu kedua adikku.

“ Kau salah Cin, Ayah mu…”

“ Diam, gue bilang…!!!!”, potongku kasar. Dengan kasar pula aku menekan tombol mereh untuk mematikan Hp yang saat ini sudah ku ambil alih.

“ Janggan!” , pintanya,dengan usaha yang sudah pasti sia-sia.

‘ Lo itu emang gak punya malu ya? Lo itu sudah gak dimaui Ayah Gue, dia udah bosen ma lo. Dia udah punya wanita lain, apa gak sebaiknya, lo ikuti jalan yang di ambil istri-istri ayah yang sebelumnya. Angkat kaki dari rumah ini. Dari pada ntar lo di usir. Harga diri lo nol deh…”

Plak

Sebuah tamparan

No comments: